Jaringan Terselubung Kotak Amal di Makam Sunan Gunung Jati Tradisi yang Sulit Mati

Investigasi.co.id, Cirebon – Di balik kemegahan dan khidmatnya Makam Sunan Gunung Jati, terdapat cerita panjang tentang praktik kotak amal yang bukan sekadar tempat sedekah, melainkan “lahan basah” yang sudah berakar puluhan tahun. Penertiban aparat baru-baru ini memang membuat area makam terlihat bersih dari pengemis dan penjaga kotak amal, tetapi investigasi kami menemukan bahwa ini hanyalah permukaan dari persoalan yang jauh lebih dalam.

“Kalau mau jujur, ini sudah ada sejak saya kecil. Penjaga kotak amal itu ganti-gantian orangnya, ada yang asli sini, ada juga yang datang dari luar daerah,” ujar S, warga Desa Astana yang meminta namanya disamarkan. Menurutnya, sebagian orang bahkan membayar “setoran” ke pihak tertentu agar bisa mendapatkan posisi strategis menjaga kotak amal.

Dalam penelusuran investigasi.co.id, pola kerjanya terbilang rapi. Setiap titik kotak amal diatur sedemikian rupa, dijaga oleh 1–2 orang, lengkap dengan narasi “seikhlasnya” yang nyatanya kerap dibungkus tatapan tajam atau gerakan mengisyaratkan agar peziarah mengeluarkan uang. “Kalau nggak ngasih, kadang kotaknya diketuk-ketuk, itu tanda,” kata seorang peziarah asal Indramayu yang pernah mengalaminya.

Data Polres Cirebon Kota mencatat, sedikitnya 300 orang pernah terdeteksi terlibat dalam aktivitas ini. Aparat menduga ada sindikat yang mengatur perputaran orang, pembagian lokasi, hingga setoran hasil harian. Pola semacam ini membuat praktik tersebut bukan sekadar urusan perorangan, tetapi jaringan yang memiliki kepentingan ekonomi.

Bupati Cirebon, Drs. H. Imron, M.Ag., mengakui masalah ini tidak mudah diberantas. “Kami sudah menertibkan, menempatkan aparat permanen, dan menyiapkan program alih profesi. Tapi ini masalah kebiasaan puluhan tahun, tidak bisa hilang dalam semalam,” ujarnya saat ditemui di Pendopo Kabupaten.

Menurut pengamat budaya lokal, praktik ini bertahan karena faktor ekonomi, lemahnya pengawasan di masa lalu, dan adanya “pembiaran” yang lama-kelamaan dianggap normal. Di satu sisi, ada kebutuhan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, ada pihak yang memanfaatkan. Perpaduan ini menciptakan ekosistem yang sulit dibongkar.

Penertiban saat ini memang menciptakan suasana lebih kondusif, tetapi pertanyaannya: sampai kapan? Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa setelah aparat lengah, wajah lama kotak amal “berpenjaga” akan muncul kembali.

Sebagai situs ziarah yang menjadi ikon Cirebon, Makam Sunan Gunung Jati seharusnya menjadi tempat yang bersih dari praktik intimidasi, apalagi pemanfaatan nama besar wali untuk keuntungan pribadi. Mengakhiri praktik ini butuh lebih dari sekadar patroli, dibutuhkan transparansi pengelolaan amal, pemberdayaan ekonomi warga sekitar, dan keberanian menyentuh “orang-orang besar” yang selama ini berada di balik layar.

Karena selama akar itu tidak dicabut, sejarah akan terus berulang, dan kotak amal di Makam Sunan Gunung Jati akan tetap menjadi saksi bisu dari tradisi terselubung yang enggan mati.

[ NIKO ]